Menimbang kembali pemberian beasiswa ke luar negeri

Riuh rendah beasiswa saat ini agaknya semakin menjadi-jadi. Seakan ingin mewakili hasrat generasi muda kita untuk menglangkah berburu ilmu pengetahuan, digelontorkanlah beasiswa melalui pelbagai format; debt-swap yang intinya membayar hutang dengan pola beasiswa, kemudian ada beasiswa reguler Dikti via Kemendikbud, belum lagi dengan gelontoran beasiswa Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) yang dikelola oleh Kemenkeu dan yang paling mutakhir ialah beasiswa Presiden RI untuk mahasiswa Indonesia yang berotak paling encer untuk menimba kedigjayaan di kampus-kampus kelas wahid dunia, seperti yang baru-baru ini diberitakan (baca: .SBY Lepas 109 Penerima Beasiswa Presiden).

Hal di atas jelas sangat membahagiakan generasi muda kita. Selain semua itu menunjukkan keseriusan negara mencerdaskan bangsanya, kesempatan meraih jenjang pendidikan di luar negeri via beasiswa semakin lapang. Jika dahulu pelajar-pelajar kita bersaing keras untuk beasiswa Dikti, STUNED, Erasmus, DAAD, Chevening, AUSAid, Manbusho atau Fulbright, maka pilihan semakin banyak dengan banyaknya sumber pendanaan dalam negeri. Berhubung semakin banyak pilihan, maka kompetisi mendapatkan beasiswa pun semakin lega. Dan hal tersebut semakin meningkatkan jumlah peraih beasiswa (disebut sebagai karyasiswa) ke luar negeri.

Derasnya aliran beasiswa dan berbondong-bondongnya karyasiswa kita ke luar negeri bukannya tidak membawa dampak negatif yang kurang mengenakkan untuk dunia penelitian dalam negeri sendiri. Kemudian, alokasi dana beasiswa yang sangat besar untuk menyekolahkan karyasiswa selama 3-4 tahun dapat berpotensi mengakibatkan kesalahan alokasi dan pemanfaatan uang negara yang diambil dari para pembayar pajak, salah satunya sempat dihembuskan oleh anggota DPR baru-baru ini. Namun, sebagai seorang yang sedikit banyak bergiat di dunia penelitian, saya hendak melihat sisi pemberian beasiswa ke luar negeri dari perspektif lain.

Dua tamparan keras untuk universitas dalam negeri

Dengan pemberian beasiswa ke luar negeri, pada prinsipnya kita justru mengirimkan generasi muda untuk mencurahkan waktu dan tenaga untuk kemajuan penelitian dan ilmu pengetahuan negara lain dengan uang negara kita. Jadi, tidak hanya soal sumber daya mahasiswa saja yang kita kirimkan, namun juga adanya aliran uang yang besar terutama di negara-negara yang mewajibkan mahasiswanya membayar uang perkuliahan atau semacam SPP. Negara tujuan beasiswa mendapatkan keuntungan ganda. Penelitian mereka terbantukan dengan adanya karyasiswa Indonesia plus adanya penambahan devisa yang tidak sedikit.

Sebagai contoh, beasiswa yang berkorelasi dengan biaya hidup di Jerman harus dapat memenuhi standar EUR 12.000 – 15.000 per tahun. Jika karyasiswa kuliah di negara seperti Inggris, Belanda, atau negara-negara lain yang mewajibkan adanya uang kuliah alias SPP, maka ada dana beasiswa ekstra sebesar EUR 20 – 30.000 per tahun yang perlu dikeluarkan negara. Sehingga, untuk mencetak satu doktor, negara memerlukan 3 tahun x EUR 12.000 untuk karyasiswa kita di Jerman dan menambah EUR 60 – 90.000 lagi untuk menamatkan kuliah 3 tahun di negara yang mewajibkan SPP. (Catatan, EUR 1 = Rp. 15.000 saat ini). Bahkan, beasiswa LPDP menyediakan dana untuk pembayaran SPP di muka sebesar Rp. 3 Milyar bagi karyasiswa doktoral kita di Naval Academy AS.

Kondisi sebaliknya dialami oleh universitas di Indonesia sendiri. Bandingkan besar rata-rata dana penelitian Rp. 200 juta per penelitian (angka optimistik) atau kurang dari EUR 15.000 untuk waktu 2 tahun yang jelas tidak ada apa-apanya dengan ongkos beasiswa yang diberikan negara untuk mencetak satu doktor lulusan luar negeri. Universitas di negeri sendiri ibarat mendapat dua tamparan sekaligus di wajah; ditinggal oleh mahasiswa paling betalenta, dan hilangnya kesempatan mendapatkan dana yang seharusnya digunakan untuk penelitian yang juga dapat mencetak doktor.

Sebenarnya tepatkan menggelontorkan dana untuk pemberian beasiswa ke luar negeri? Jika kita mencermati lebih jauh, agaknya kita perlu merevisi program menggelontorkan beasiswa untuk kuliah doktor ke luar negeri.

Pernahkah kita mendengar negara semacam AS, Uni Eropa atau Jepang memberikan beasiswa kepada mahasiswanya untuk kuliah di luar negaranya? AS melalui National Science Foundation (NSF) sebuah lembaga pendanaan penelitian terbesar di dunia memberikan banyak beasiswa untuk S3 bagi warga negaranya. Namun NSF tidak memberikan beasiswa ke luar negeri untuk karyasiswanya. Pun setali tiga uang dengan Jerman melalui Deutschforschungsgemainschaft (DFG, German Research Foundation) atau Forshungsforderungsgemeinschaft (FFG, Austrian Research Foundation) yang tidak memberikan beasiswa ke luar negaranya bagi karyasiswanya. Pada kanyataannya beasiswa untuk kuliah S3 di negara-negara tersebut diperuntukkan untuk universitas atau lembaga penelitian lokal negaranya masing-masing.

Namun meskipun berorientasi domestik, lembaga pemberi dana penelitian dan beasiswa tersebut membuka pula kesempatan dan mendorong karyasiswanya untuk berkolaborasi dengan universitas-universitas di negara lain dalam konteks kebutuhan penelitian atau pertukaran pelajar. Saya pernah memiliki kolega yang merupakan seorang karyasiswa doktoral NSF yang melakukan penelitian di Nanyang Technological University Singapura untuk 3 bulan. Kantor tempat saya bekerja saat ini pernah juga kedatangan mahasiswa doktoral dari Italia, Yunani dan Jerman untuk melakukan penelitian selama 1-3 bulan.

Fokus ke dalam negeri dengan membuka kolaborasi

Mengapa negara-negara yang saya sebutkan di atas tidak mengirimkan karyasiswanya ke luar negaranya masing-masing? Jawabannya sederhana; jika generasi mudanya dikirim ke luar negeri, lantas siapa yang mengembangkan ilmu pengetahuan di negaranya?

Sebagaimana perlui diketahui, pendidikan doktoral diiringi dengan aktifitas penelitian. Tidak akan ada gelar doktor jika tidak melakukan penelitian, begitu pula sebaliknya, tidak akan ada penelitian yang akan berjalan tanpa ada mahasiswa doktor. Kita pun harus memahami bahwa dosen atau profesor di universitas bukanlah pihak yang megerjakan penelitian dalam artian tidak melakukan penelitian secara teknis. Namun mereka ambil bagian secara signifikan dalam penyusunan konsep proposal penelitian, pemilihan metodenya, mendapatkan dana penelitian melalui pengiriman proposal penelitian ke lembaga pendanaan, serta memonitor progres penelitian (kala proposal tersebut mendapatkan dana). Dosen di universitas memang memilki fokus lebih ke pengajaran. Mahasiswa—lah yang (seharusnya) melakukan penelitian teknis di lapangan atau di laboratorium. Untuk itu, di dalam setiap proposal penelitian, mahasiswa selalu dimasukkan sebagai salah satu elemen „personnel costs“ atau biaya untuk menggaji peneliti. Biaya gaji peneliti ini dipergunakan untk antara lain pembayaran SPP dan uang gaji bulanan (yang akhirnya kita sebut dengan „beasiswa“). Uang SPP dianggarkan untuk keperluan administratif bahwa mahasiswa ybs tercatat sebagai mahasiswa di universitas tertentu serta akan medapatkan gelar akademik dari universitas tersebut. Sedangkan gaji bulanan dialokasikan sebagai pengganti waktu, tenaga dan pikiran yang dicurahkan untuk menjalankan penelitian.

Jika proposal penelitian tersebut memperoleh dana, mahasiswa-lah yang berperan sebagai peneliti (teknis) untuk memecahkan problem yang sudah tertuang dalam konsep penelitian melalui pelbagai eksperimen, simulasi atau survey lapangan. Hasilnya dituliskan dalam bentuk disertasi untuk kelulusan doktoral yang bersangkutan. Di Eropa pada umumnya, sangat sulit menemui seorang mahasiswa doktor tanpa proyek penelitian karena lowongan mahasiswa doktor hanya ada apabila ada sebuah penelitian yang hendak atau tengah berjalan.

Situasi kita sedikit berbeda, di mana, kondisi jamak di dunia penelitian seperti di atas tidak berjalan baik.

Minimnya pendanaan untuk melakukan penelitian berimbas pada sedikitnya proposal penelitian yang mendapat dana atau “research grant”. Kemudian, minimnya penelitian yang mendapatkan dana berakhir pada sedikitnya dosen yang produktif berkarya. Puncak dari kondisi seperti sekarang ini ialah, mandegnya kultur penelitian serta kurangnya sumbangan insan cendekia Indonesia dalam kemajuan ilmu pengetahuan. Meski universitas pun memiliki sumber pendanaan penelitian internal sendiri, namun jelas selain jumlahnya terbilang kecil, persaingan mendapatkannya pun sangat ketat karena rasio yang kecil antara besar sumber dana dengan jumlah pengajuan proposal penelitiannya.

Jika persoalannya demikian, lantas memberikan dana besar untuk mengirimkan generasi muda kita ke luar negeri dalam bentuk beasiswa berlawanan dengan usaha memperbaiki kultur penelitian di perguruan tinggi. Karena, hal yang jauh lebih tepat sasaran untuk mengatasi persoalan utama penelitian di tanah air ialah menyediakan dana penelitian secara massif sekaligus memberi beasiswa dalam menarik mahasiswa kita yang brilian untuk melakoni penelitian level doktoral di universitas-universitas lokal alih-alih menawarkan mereka beasiswa ke luar negeri.

Dengan begitu, pihak universitas akan memiliki kontinuitas dan jaminan dana penelitian yang termasuk di dalamnya memiliki alokasi dana untuk memperbaharui fasilitas penelitian, mulai dari alat atau metode hingga literatur. Pihak dosen atau profesor di kampus memiliki kesempatan jauh lebih lebar untuk mengaktualisasikan ilmunya dalam bentuk penelitian yang lebih nyata, menantang, orisinal dan berorientasi masa depan. Akan banyak sekali karya yang dapat dinikmati entah itu dalam bentuk publikasi ilmiah, purnarupa, produk, paten, jasa hingga teori. Fokus lebih besar pada pemberian dana penelitian dan beasiswa di dalam negeri memberi kesempatan besar universitas kita mendapatkan mahasiswa yang bertalenta nan cerdas mengembangkan ilmu pengetahuan orisinal yang dilahirkan di rahim kampus-kampus tanah air. Dosen pun memiliki banyak kesempatan membimbing mahasiswa-mahasiswa level doktor ketimbang sebelumnya hanya berkutat di level penelitian mahasiwa S1 atau maksimal terhenti pada level S2 atau master.

Bandingkan apabila dana tersebut dikeluarkan untuk universitas di negara lain. Selain universitas dan dosen di tanah air tidak dapat mengembangkan kultur penelitian, kita justru –maaf- “menugaskan” generasi muda kita untuk mengembangkan ilmu pengetahuan negara lain, plus harus bayar pula. Dan parahnya, ketika penerima beasiswa tersebut lulus doktor dan harus kembali ke tanah air, maka yang ia dapatkan ialah situasi kultur penelitian seperti yang dituliskan di atas. Sepulangnya dari luar, doktor-doktor kita akhirnya tidak memilki modal untuk memulai penelitiannya sendiri di universitas. Mereka tidak dapat mengaktualisasikan kepakarannya seperti dosen-dosen yang terdahulu disebabkan oleh minimnya pendaan penelitian. Mereka akan dihadapkan pada kisah klasik di mana “keahliannya tidak dihargai oleh bangsanya sendiri”. Ikhlas pulang dan mengabdi namun dibiarkan tidak produktif. Ya sebenarnya perlu kita akui hal tersebut tidak lepas dari minimnya pendanaan di bidang penelitian plus kesukaan kita mengarahkan beasiswa doktor ke luar negeri. Dapat dibayangkan jika seorang karyasiswa mendapatkan Rp. 3 Milyar untuk kuliah doktor di luar negeri, namun ketika pulang ke tanah air  tanpa produktifitas yang berarti. Di sini akan terlihat sebenarnya sisi “mudaharat” dari pemberian beasiswa ke luar negeri.

Orang akan berargumen bahwa dengan kualitas universitas di Indonesia yang seperti saat ini, maka lulusan doktor yang dihasilkan akan berkualitas rendah. Maka itu, mengambil gelar doktor di luar negeri adalah keniscayaan. Hal ini bisa benar, namun bisa pula salah. Kita melupakan satu hal; penelitian level doktor ialah penelitian yang orisinal yang benar-benar baharu secara esensial. Artinya, di dalam setiap penelitian doktoral, ada nuansa keunggulan komparatif dan keunikan yang tidak dapat disetarakan di mana pun. Entah apakah seseorang meneliti di universitas di Indonesia, Singapura, Jerman atau AS, keunikan ini yang menjadi kualitas penelitian level doktor dan siapa pun yang menyandang gelar doktor selepas penelitian/disertasinya. Jadi tidak tepat jika memandang bahwa doktor dan penelitian di universitas dalam negeri memiliki kualitas yang lebih rendah dari penelitian di luar negeri. Alat dan laboratorium di universitas dalam negeri mungkin saja sudah uzur dan tidak segemerlap laboratorium di luar neegeri, namun orisinalitas dan metode ilmiah yang benar adalah tolok ukur universal.

Banyak di antara kita mungkin pula mengangkat isu globalisasi atau internasionalisasi jika beasiswa doktor difokuskan di dalam negeri. Maksudnya, dengan mengambil doktor di luar, seseorang akan menyerap lebih banyak ilmu dan pengalaman serta network yang luas yang dapat dimanfaatkan ketika ia kembali ke tanah air.

Argumentasi di atas tidak benar. Seperti ditulis sebelumnya, beasiswa doktor yang merupakan satu paket dengan penelitian harus mengupayakan (atau bahkan mewajibkan) untuk menyertakan kesempatan untuk berkolaborasi dengan universitas lain di luar negeri yang murni berangkat dari kebutuhan penelitian. Selain dilandasi kebutuhan alat-alat kelengkapan penelitian yang belum tentu semuanya tersedia, adanya kebutuhan untuk pertukaran intelektual dengan pusat-pusat ilmu pengetahuan di negara lain ialah satu bagian yang tidak terpisahkan dari sebuah penelitian. Perlu diingat bahwa kolaborasi ini juga membutuhkan dana yang tidak sedikit, namun masih sangat jauh lebih sedikit bila dibandingkan dengan menyekolahkan seseorang untuk 3-4 tahun di luar negeri. Bentuk kolaborasi tersebut dapat diserahkan sepenuhnya sesuai kebutuhan para dosen-mahasiswa pelaku penelitian; seperti satu bulan pengujian sampel dan pelatihan alat penelitian, keikutsertaan dalam sebuah workshop, tinggal beberapa pekan untuk membuat sampel, pengiriman mahasiswa untuk summer atau winter school, pelatihan program simulasi, dan sebagainya yang murni berangkat dari kebutuhan penelitian. Kesempatan ini dapat pula dijadikan ajang networking tentu saja.

Akhirul kalam, perlulah kiranya kita mengevaluasi efektifitas pemberian beasiswa ke luar negeri.

Vienna, 15 Oktober 2014.

13 Komentar

Filed under Pendidikan, Penelitian

13 responses to “Menimbang kembali pemberian beasiswa ke luar negeri

  1. Kritik terhadap pemberian beasiswa ke luar negeri yang tidak diberengi dgn alokasi dana penelitian di dalam negeri yang dilontarkan penulis sebenarnya tidak signifikan, harusnya perguruan tinggi di dalam negeri punya kreatifivitas mencari dana penelitian, karena dana penelitian malah “bertaburan” dimana-mana, bukan harus menggerogoti dana “pajak” lagi..

    Banyak contoh perguruan tinggi di luar negeri yang memperoleh dana hibah penelitian justru bukan dari pemerintah, tetapi dari berbagai organisasi, bahkan dari industri sekalipun…

    • Adhi

      Perlu disebutkan dulu dari mana sumber dana yang “bertaburan” tsb….Sumber2 pendanaan penelitian yang dapat dicari biasanya dari Dikti dan dana internal kampus. Sumber pendanaan dari organsiasi dan industri praktis tidak ada. Jika yang Pak Sofian maksud ialah aktifitas konsultasi jasa untuk industri, survey untuk keperluan organsiasi, mgkn bisa jadi cukup banyak. Tapi tidak untuk penelitian. Sebagian besar Industri kita tidak melakukan penelitian atau R&D. Silakan cek.

  2. Reblogged this on Sekaleng Ilmu and commented:
    Perlu dipertimbangkan pemerintah juga yaa …..

  3. Ping-balik: KemenDiktiRistek dan harapan kebangkitan riset sel surya | ..::: Energi Surya

  4. memang seharusnya pemerintah terus memajukan riset dalam negeri

  5. Google tentang LPDP mengantarkan saya ke halaman ini. Saya sendiri pernah merasakan betapa susahnya mencari dana penelitian di dalam negeri, yang tidak bertaburan, dan begitu kecil sekali dananya dibandingkan dengan biaya yang digunakan untuk seorang mahasiswa ke luar negeri. Sekarang saya sedang S3 di luar negeri menggunakan beasiswa pemerintah luar (salah satunya karena alasan yang disinggung di tulisan ini), dan saya baru merasakan bahwa riset yang saya lakukan disini hasilnya akan menjadi milik negara luar ini juga. Memang nama saya di suatu karya ilmiah adalah nama Indonesia, tapi bukan nama bangsa atau institusi Indonesia yang saya bawa. Lantas saya berpikir, pantas saja riset di Indonesia itu sulit, mahasiswa berlomba-lomba ke luar negeri dengan beasiswa dalam negeri tapi dalam negeri masih terlantar. Syukurlah di luar negeri sekarang saya masih membina hubungan baik dengan institusi dalam negeri, saya mencoba menjalin kolaborasi antara universitas saya sekarang dengan universitas saya sebelumnya. Saya rasa ini hal penting yang harus dilakukan setiap mahasiswa Indonesia di luar negeri. Bahkan saya sempat berpikir, mahasiswa Indonesia yang baru saja S3 di luar negeri dan kembali ke Indonesia harus melakukan dulu riset postdoctoral, dengan tujuan agar banyak yang melakukan riset di Indonesia. Tetapi masih sangat penting agar Indonesia mampu memproduksi sendiri Doktor Doktor yang mumpuni. Saya merasa negara maju itu karena mereka memproduksi sendiri Doktor yang mereka butuhkan, bukan menargetkan Indonesia memiliki sekian Doktor tetapi Doktornya dari luar negeri semua. Mungkin ada yang berpendapat bahwa belum tahapnya Indonesia seperti itu, tapi sudah terlalu lama kita melakukan hal-hal seperti ini, dari zaman Soeharto mungkin.

    Saya juga mencoba menyampaikan kritikan saya terhadap orang lain, tapi lucunya yang saya dapat selalu cemoohan atau cibiran di awal. Ada baiknya LPDP juga memberi fokus terhadap pendidikan s2/s3 di dalam negeri, dengan memberikan jalan untuk berkolaborasi dengan luar negeri. Sudah saatnya kita mencoba menyetarakan diri dengan universitas luar, bukan hanya menjadi tempat persinggahan sementara mahasiswa sebelum mereka ke luar negeri.

    • bedok

      Tidak masalah sepanjang siswa brilian dari indonesia bisa sukses menempuh study Ph.D diluar negeri. Tapi parameter nya sangat jelas yakni. bisa single author atauvsetidak nya sebagai First Author do jurnal papan atas didunia seperti Nature, Science , Rev Mod of Phys, Chemical Reviews dgn citation yg sangat banyak. Dan jangan lupa dengan tanah air

      • Bedok

        Selain masalah dana penelitian, Perguruan Tinggi kita perlu menerapkan sistem meritokrasi juga kebijakan Publish or Perish bagi peneliti dan dosen dosen dalam negeri

  6. Sudah kuduga demikian, saya mempunyai pemikiran yang sama dengan Mas RAW. Andaikan dana yang setara biaya doktor luar negeri itu digunakan untuk doktor dalam negeri. Memang, untuk tuition, dalam negeri tidak akan semahal luar negeri. Tapi kalau program-program doktor atau master di dalam negeri digelontorkan dana yang besarnya setara (mencakup stipend untuk student juga setara), pastilah banyak juga yang berbondong bondong untuk sekolah di dalam negeri. Detailnya seperti ini, di luar negeri banyak sekali PhD Position yang diiklankan dengan stipend 10-30 ribu USD per tahun. Uang tersebut murni untuk biaya hidup. Tuition sudah ditanggung. Siapa sih yang gak mau stipend 11-35 juta rupiah per bulan untuk tinggal di Indonesia. Pastilah banyak yang akan mendaftar program doktor dalam negeri kalau begini caranya. Karena tuition di univ dalam negeri lebih murah, selisih lebih mahal dari univ luar negeri bisa dialokasikan untuk dana riset (alat, bahan, berlangganan jurnal, dll).

    Kalau dengan LPDP dalam negeri bisa memperoleh stipend 11-17 juta per bulan (selayaknya luar negeri) dan didukung alat/fasilitas riset yang oke, seharusnya ini cukup menarik para pegiat ilmu untuk menuntut ilmu di dalam negeri. Nasi sudah menjadi bubur, program LPDP pun sudah berjalan. Sebaiknya LPDP juga mempersiapkan “wadah” bagi para lulusan master dan doktor LPDP untuk mengabdi ke negeri ini.

    Terutama yang program master, bisa jadi mereka mendapat tawaran PhD dari univ waktu master atau univ lain bukan dengan LPDP. Sehingga setelah lulus PhD, mereka punya “alasan” untuk tidak balik mengabdi ke negeri ini.

  7. Bedok

    Kita bisa belajar dari keteladanan dan kesuksesan Tsung Dao Lee dan Chen Ning Yang dalam memajukan komunitas fisika di China.Bagaimana mereka membantu dan memajukan perkembangan fisika di China. meskipun ybs belajar Dan sempat.mengajar di USA namun beliau tidak melupakan China.

  8. Ping-balik: Gunung es itu bernama publikasi ilmiah | ..:: Jurnalistik Sains ::..

  9. Ping-balik: Publikasi ilmiah dan fenomena gunung es penelitian | ..:: Jurnalistik Sains ::..

  10. Ping-balik: Pengaruh Beasiswa Luar Negeri bagi Bangsa – Wajah Dulu

Tinggalkan Balasan ke Adhi Batalkan balasan